BAB I
PENDAHULUAN
Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang filsafat yang mengkaji
tentang ilmu. Filsafat ilmu bertujuan untuk menganalisis ilmu pengetahuan dan
bagaimana cara memperoleh ilmunya. Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil keputusan,
di mana keputusan tersebut harus didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah
yang bersifat relatif. Ilmu pengetahuan diperoleh dari pemahaman manusia
tentang apa yang ada di alam semesta yang nantinya dapat dimanfaatkan dalam
pengembangan kehidupan ke arah yang lebih baik.
Pengetahuan
yang merupakan produk berpikir merupakan dasar bagi manusia dalam menemukan dirinya dan menghayati hidup
dengan lebih sempurna. Berbagai peralatan dikembangkan oleh manusia dalam
rangka meningkatkan kualitas hidupnya dengan jalan menerapkan pengetahuan yang
diperolehnya. Manusia selalu berada pada proses berpikir dalam rangka
menghasilkan hal-hal baru yang berasal dari pengetahuan yang diperoleh. Proses
dan penemuan itulah yang menghasilkan produk-produk dalam bentuk teknologi yang
dapat membantu menghadapi masalah hidup.
Pada
hakikatnya, upaya manusia dalam memperoleh ilmu pengetahuan didasarkan pada
tiga pokok masalah. Tiga pokok masalah ini merupakan landasan untuk
pengembangan ilmu pengetahuan. Pengembangan pengetahuan tidak serta-merta diperoleh dengan melihat apa yang ada,
tetapi harus melalui proses yang ilmiah. Apa yang diperoleh dari pengembangan ilmu tersebut
dapat dimanfaatkan untuk kehidupan. Tiga landasan pokok yang dimaksud adalah
ontologi, epistemologi, dan
aksiologi. Ontologi yakni menyangkut mengenai apakah
yang ingin diketahui atau mengenai hakikat yang akan dikaji, epistemologi yaitu
membahas bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan, sedangkan aksiologi yakni
apakah nilai kegunaan dari ilmu pengetahuan bagi kehidupan.
Ontologi berfungsi untuk menjawab sejumlah pertanyaan yang berhubungan
dengan objek yang ditelaah ilmu. Pertanyaan-pertanyaan itu antara lain:
Bagaimana wujud hakiki objek tersebut?, Bagaimana hubungan objek dengan daya
tangkap manusia (misalnya berpikir, merasa, dan mengindra)? Epistemologi bertujuan untuk mengkaji bagaimana
proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan berupa ilmu.
Pertanyaan-pertanyaan yang dijawab oleh epistemologi antara lain: Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu? Dari mana pengetahuan itu
dapat diperoleh? Cara/teknik/sarana apa yang dapat membantu mendapatkan
pengetahuan berupa ilmu? Aksiologi
berfungsi untuk mengetahui kegunaan ilmu. aksiologi diperkaya dengan
pertanyaan-pertanyaan antara lain: Apa fungsi pengetahuan yang berupa ilmu itu?
Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
ASPEK ONTOLOGI
Ontologi merupakan
bagian dari filsafat yang mengkaji tentang hakikat sesuatu yang berwujud atau
sesuatu yang ada dengan berdasarkan pada logika semata. Ontologi berasal dari
bahasa Yunani yang terdiri atas dua kata yakni ontos dan logos. Ontos berarti “sesuatu yang berwujud”
dan logos berarti “ilmu”. Jadi
ontologi dapat diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang
ada.
Argumen
mengenai ontologi pertama kali dilontarkan oleh Plato (428-348 SM) dengan teori
ideanya. Menurut Plato, tiap-tiap yang ada di alam nyata mesti ada ideanya.
Idea maksudnya adalah definisi atau konsep universal dari tiap sesuatu. Argumen
kedua tentang ontologi diungkapkan oleh St. Augustine (354-430 M). Menurut
Augustine, manusia mengetahui dari pengalaman hidupnya bahwa dalam alam ini ada
kebenaran. Namun, akal manusia terkadang merasa bahwa ia mengetahui yang benar,
tetapi terkadang merasa ragu bahwa apa yang dia ketahui adalah suatu kebenaran
(Muhammad Adib, 2011: 70-71). Manusia sering kali tahu akan kebenaran tentang
suatu hal yang ada di alam ini. Namun di sisi lain terkadang manusia juga masih
meragukan kebenaran itu sebelum manusia membuktikan akan suatu yang dipercayai
tersebut. Penemuan kebenaran salah satunya dapat dilakukan dengan melakukan
penelitian yang ilmiah.
Jujun
(2009) dalam bukunya memaparkan bagian dari ontologi itu adalah metafisika.
Metafisika merupakan cabang filsafat yang mempelajari penjelasan
tentang asal atau hakikat objek (fisik) di dunia. Tafsiran yang paling utama
dalam metafisika adalah bahwa di alam ini terdapat hal-hal yang bersifat gaib
(supernatural).
Animisme merupakan kepercayaan yang berasal dari pemikiran supernatural,
di mana manusia mempercayai bahwa terdapat roh-roh yang bersifat gaib yang
terdapat di dalam benda-benda seperti pohon dan batu besar. Selain aliran
animisme juga terdapat aliran naturalisme yang menolak pendapat bahwa terdapat suatu wujud yang bersifat
supernatural. Paham materialism ini yang merupakan bagian dari naturalisme yang
menyatakan bahwa setiap gejala yang terjadi di alam ini tidak disebabkan oleh
pengaruh kekuatan yang gaib, melainkan oleh kekuatan yang ada dalam alam itu
sendiri yang dapat dipelajari dan dapat kita ketahui.
Terdapat dua objek bahasan dalam metafisika. Pertama, objek material yang menjelaskan bahwa metafisika adalah sesuatu
yang ada. Loren Bagus (1991) dalam makalah Sri Soeprapto menjelaskan bahwa
objek material filsafat meliputi semua realitas dalam semua bentuknya, baik
bentuk yang indrawi maupun yang tidak indrawi. Bahasan filsafat kedua yakni
objek formal. Loren bagus (1991) menyebutkan bahwa metafisika adalah bahasan
tentang hakikat seluruh realitas. Metafisika membahas hal yang sangat
sederhana, tetapi menjadi dasar bagi semua macam pengetahuan. (Sri Soeprapto,
1997: 2)
Hakikat kenyataan atau realitas dapat dilihat dari dua sudut pandang
yakni kuantitatif dan kualitatif. Kuantitatif yaitu dengan mempertanyakan
apakah kenyataan tersebut tunggal atau jamak. Sedangkan kualitatif yaitu
mempertanyakan apakah kenyataan atau realitas tersebut memiliki kualitas
tertentu.
Muhammad Adib (72: 2011) menyatakan bahwa aspek ontologi dalam ilmu
pengetahuan dapat diuraikan secara metodis;
menggunakan cara ilmiah, sistematis; saling
berkaitan satu sama lain secara teratur dalam satu keseluruhan, koheren; unsur-unsurnya tidak boleh
mengandung uraian yang bertentangan, rasional;
harus berdasarkan pada kaidah berpikir yang benar (logis), komprehensif; melihat objek tidak hanya dari satu sisi/sudut
pandang melainkan secara multidimensional atau secara keseluruhan (holistik), radikal; diuraikan sampai akar
persoalannya, dan universal; muatan
kebenarannya sampai tingkat umum yang berlaku di mana saja.
Adapun karakteristik dari
ontologi ilmu pengetahuan adalah:
a.
Ilmu berasal dari riset (penelitian)
b.
Tidak ada konsep wahyu
c.
Adanya konsep pengetahuan empiris
d.
Pengetahuan rasional, bukan keyakinan
e.
Pengetahuan objektif
f.
Pengetahuan sistematik
g.
Pengetahuan metodologis
h.
Pengetahuan observatif (observeble)
i.
Menghargai asas verivikasi (pembuktian)
j.
Menghargai asas eksplanatif (penjelasan)
k.
Menghargai asas keterbukaan dan dapat diulang kembali
l.
Menghargai asas skeptikisme yang radikal
m.
Melakukan pembuktian bentuk kausalitas
n.
Mengakui pengetahuan dan konsep yang relative (bukan absolut)
o.
Mengakui adanya logika-logika ilmiah
p.
Memiliki berbagai hipotesis dan teori-teori ilmiah
q.
Mengetahui konsep tentang hukum-hukum alam yang telah
dibuktikan
r.
Pengetahuan bersifat netral atau tidak memihak
s.
Menghargai berbagai metode eksperimen
t.
Melakukan terapan ilmu menjadi teknologi.
2.2 ASPEK ONTOLOGI PADA PENDIDIKAN MATEMATIKA
Ontologi
adalah teori mengenai apa yang ada dan membahas tentang yang ada, yang tidak
terikat oleh satu perwujudan tertentu. Eksistensi dari entitas-entitas
matematika juga menjadi bahan pemikiran filsafat. Adapun metode-metode yang
digunakan antara lain adalah: abstraksi fisik yang dimana berpusat pada suatu
obyek, abstraksi bentuk adalah sekumpulan obyek yang sejenis, abstraksi
metafisik adalah sifat obyek yang general. Jadi aspek ontologi dipandang untuk
mengkaji bagaimana mencari inti yang cermat dari setiap kenyataan yang
ditemukan, membahas apa yang kita ingin ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu,
menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental.
Ross,
DS dalam Marsigit (2010) menyatakan bahwa ada beberapa pertanyaan ontologis dalam Filsafat
Matematika:
Apakah asal dari
objek matematika? Dengan cara apa objek matematika ada? Apakah mereka selalu
hadir sebagai abstraksi 'Platonis', atau apakah mereka memerlukan pikiran untuk
membawa mereka menjadi ada? Dapatkah obyek matematika ada dalam ketiadaan peduli atau
hal-hal untuk menghitung?
Filsafat pendidikan matematika
adalah refleksi terhadap pendidikan matematika itu sendiri, meliputi semua yang
ada dan yang mungkin ada dalam pendidikan matematika (Marsigit, 2010). Filsafat
pendidikan matematika memperbincangkan semua obyek-obyek yang ada didalamnya
antara lain: matematika, guru, siswa, kegiatan, alat dan sebagainya.
Aspek
ontologi pada pendidikan matematika akan diuraikan sebagai berikut :
a)
Metodis; matematika merupakan ilmu ilmiah (bukan
fiktif)
b)
Sistematis; pendidikan matematika adalah ilmu telaah
pola dan hubungan artinya kajian-kajian pendidikan matematika saling berkaitan antara satu sama lain
c)
Koheren; konsep, perumusan, definisi
dan teorema dalam matematika saling bertautan dan tidak bertentangan
d)
Rasional; pendidikan matematika sesuai dengan
kaidah berpikir yang benar dan logis
e)
Komprehensif; objek dalam pendidikan matematika dapat dilihat
secara multidimensional (dari berbagai sudut pandang)
f)
Universal; Pendidikan matematika kebenarannya
berlaku secara umum dan di mana saja terikat
oleh ruang dan waktu.
2.3 ASPEK
EPISTEMOLOGI
Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Secara etomologi, istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme yang berarti ‘pengetahuan’ dan logos yang
berarti ‘teori’. Epistemologi dapat didefinisikan
sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur,
metode dan syahnya (validitas) pengetahuan.
Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah:
1.
Bagaimanakah manusia dapat mengetahui
sesuatu?
2.
Dari mana pengetahuan itu dapat
diperoleh?
3.
Cara/teknik/sarana
apa yang dapat membantu mendapatkan pengetahuan berupa ilmu?
Epistemologi meliputi sumber, sarana, dan tata cara menggunakan sarana
tersebut untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenai pilihan
landasan ontologi akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam
menentukan sarana yang akan kita pilih. Akal (Verstand), akal budi (Vernunft),
pengalaman, atau kombinasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan
sarana yang dimaksud oleh
epistemologi, sehingga dikenal dengan adanya model-model epiostemologi, seperti: rasionalisme,
empirisme, kritisisme atau rasionalisme kritis, positivisme, fenomonologis dengan berbagai variasinya (Husnan Sulaiman dan Munasir, 2009).
Epistemologi menyoroti tata cara,
teknik, atau prosedur mendapatkan ilmu dan keilmuan. Menurut Husnan Sulaiman dan Munasir (2009), tata cara, teknik, atau prosedur mendapatkan ilmu
dan keilmuan adalah:
1.
Metode
non-ilmiah
Metode
non-ilmiah adalah pengetahuan yang diperoleh dengan cara penemuan secara
kebetulan; untung-untungan (trial and
error); akal sehat (common sense);
prasangka; otoritas (kewibawaan dan pengalaman biasa).
2.
Metode ilmiah
Metode ilmiah adalah cara memperoleh pengetahuan
melalui pendekatan deduktif dan induktif.
3. Metode problem
solving
Metode problem
solving adalah memecahkan masalah dengan cara mengidentifikasi pemasalahan,
merumuskan hipotesisi, mengumpulkan data, mengorganisasi dan menganalisis data,
menyimpulkan, melakukan verifikasi.
Epistemologi
bertalian dengan definisi dan konsep-konsep ilmu, ragam ilmu yang bersifat
nisbi dan niscaya, dan relasi eksak antara lain ‘alim (subjek) dan ma’lum
(objek). Dengan kata lain, epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti
asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan
menjadi penentu penting daam menanyakan apa yang dapat kita ketahui sebelum
menjelaskannya.
Secara
general, aliran dalam epistemologi
terbagi menjadi dua, yaitu:
1.
Rasionalisme atau idealisme
Rasionalisme menekankan pada pentingnya
peran ‘akal’ dan ‘idea’ sebagai sumber ilmu pengetahuan, sedangkan panca indera
dinomorduakan.
2.
Empirisme atau realisme
Aliran ini berbicara tentang penekanan
‘indra’ dan ‘pengalaman’ sebagai sumber sekaligus alat dalam memperoleh
pengetahuan.
Kedua kelompok ini saling bersitegang, hingga
muncullah aliran ketiga, yaitu
Rasionalisme Kritis yang menekankan adanya kategori sintesis yakni perpaduan
antara kedua sumber pengetahuan (akal dan rasio) dalam sebuah ilmu pengetahuan.
Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui
akal, indra, dan lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan. Metode-metode tersebut, menurut Husnan Sulaiman dan Munasir (2009), di antaranya adalah sebagai berikut.
1.
Metode Induktif
Induksi
yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyatan hasil observasi disimpulkan
dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Bertolak dari pernyataan-pernyataan
tunggal sampai pada pernyataan-pernyataan universal.
Dalam
induksi, setelah diperoleh pengetahuan, maka akan dipergunakan hal-hal lain,
seperti ilmu mengajarkan kita bahwa kalau logam dipanasi, ia mengembang. Bertolak dari teori ini, kita akan tahu bahwa logam
lain yang kalau dipanasi juga akan mengembang. Dari contoh di atas bisa
diketahui bahwa induksi tersebut memberikan suatu pengetahuan yang disebut sintetik.
2.
Metode Deduktif
Deduksi
ialah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebih
lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-hal yang harus ada dalam
metode deduktif ialah adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan
itu sendiri. Ada penyelidikan bentuk logis teori itu dengan tujuan apakah teori
tersebut mempunyai sifat empiris atau ilmiah, ada perbandingan dengan
teori-teori lain dan ada pengujian teori dengan jalan menerapkan secara empiris
kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari teori tersebut.
3.
Metode Positivisme
Metode
ini dikeluarkan oleh August Comte (1798-1857). Metode ini berpangkal dari apa
yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia mengesampingkan segala
uraian/persoalan di luar yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu, ia menolak
metafisika. Apa yang diketahui secara positif, adalah segala yang tampak dan
segala gejala. Dengan demikian metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu
pengetahuan dibatasi kepada bidang gejala-gejala saja.
4.
Metode Kontemplatif
Metode
ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh
pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun akan berbeda-beda harusnya
dikembangkan sutu kemampuan akal yang disebut dengan intuisi. Pengetahuan yang
diperoleh lewat intuisi ini bisa diperoleh dengan cara berkontemplasi.
5.
Metode Dialektis
Dalam
filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya-jawab
untuk mencapai kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates. Namun
Plato mengartikannya sebagai diskusi logika. Kini dialektika berarti tahap logika, yang mengajarkan
kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga analisis sistematik tentang
ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan.
Dari karakteristik dasarnya, pengetahuan dapat
dibedakan menjadi setidaknya empat pengetahuan, yakni sebagai berikut.
1.
Pengetahuan indrawi
Pengetahuan indrawi adalah pengetahuan yang didapatkan melalui indera (sense) atau pengalaman (empiric).
2.
Pengetahuan akal budi
Pengetahuan akal budi adalah pengetahuan
yang didapatkan melalui pendasaran rasio atau pemikiran.
Kedua
pengetahuan di atas disebut sebagai dasar dari pengetahuan ilmiah. Berbeda dengan keduanya, dua
pengetahuan terakhir seringkali dipertanyakan kadar keilmiahannya. Kedua pengetahuan tersebut adalah:
3.
Pengetahuan intuitif
Pengetahuan
intuitif adalah pengetahuan yang didapatkan dari
kesadaran akan pengalaman langsung, melalui intuisi.
4.
Pengetahuan Kepercayaan
Pengetahuan
kepercayaan adalah pengetahuan yang didapatkan
dari otoritas atau profesionalitas seorang tokoh atau sekelompok orang.
Pengetahuan yang didapatkan dari doktrin agama biasanya dimasukkan ke dalam
pengetahuan jenis ini.
2.4 ASPEK
EPISTEMOLOGI
PADA PENDIDIKAN MATEMATIKA
Problem dasar pendidikan matematika kita di
Indonesia adalah siswa atau mahasiswa tidak dibiasakan untuk
menginterpretasikan sebuah persoalan. Padahal, matematika itu adalah
interpretasi manusia terhadap fenomena alam. Dampaknya, siswa bahkan mahasiswa,
pandai mengerjakan soal, tetapi tidak bisa memberikan makna dari soal itu.
Matematika hanya diartikan sebagai sebuah persoalan hitung-hitungan yang siap
untuk diselesaikan atau dicari jawabannya. Ini akibat tidak diajarkannya
filsafat atau latar belakang ilmu matematika.
Filsafat yang sangat berpengaruh terhadap pembelajaran matematika adalah
filsafat kontruktivism. Filsafat ini menjelaskan bahwa pengetahuan merupakan
konstruksi (bentukan) dari orang yang mengenal sesuatu. Setiap siswa mempunyai
skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Filsafat ini menjelaskan bahwa
berpikir yang baik adalah lebih penting daripada jawaban yang benar atas suatu
persoalan yang dipelajari. Dalam pembelajaran yang diperlukan saat ini adalah
suatu proses untuk mencapai tujuannya, bukan hasil akhir saja.
2.5 ASPEK AKSIOLOGI
Secara etimologi, istilah axiology berasal dari kata axios dan logos. Axios artinya
nilai atau sesuatu yang berharga, logos
artinya akal, teori. Axiology artinya
teori nilai (Rizal dan Misnal, 2012: 26).
Landasan aksiologis ilmu membahas tentang
manfaat yang diperoleh manusia dari pengetahuan yang didapatkannya atau
berkaitan dengan dampak ilmu bagi umat manusia. Persoalan utama yang
mengedepankan di sini ialah: apa manfaat ilmu bagi umat manusia?, untuk apa
ilmu itu digunakan?, apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak?. Dalam hal ini
nilai kegunaan ilmu menempati posisi yang sangat penting. Dapatkah ilmu
membantu manusia untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari
atau justru sebaliknya? (Rizal dan Misnal, 2012: 38-39).
Landasan aksiologi mengulas tentang peran
ilmu terhadap kegunaannya bagi umat manusia. Ada objek yang dikaji kemudian ada
metode untuk mengkajinya dan setelah diperoleh ilmu baru kemudian
pemanfaatannya. Ilmu dapat mempermudah pekerjaan manusia dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya maupun memecahkan masalah dalam hidup. Berkembangnya ilmu
sampai saat ini dapat dirasakan manfaatnya yang membuat pemenuhan kebutuhan
hidup terasa semakin lebih mudah. Contohnya dengan ditemukan komputer dapat
mempercepat pelayanan di suatu toko menjadi semakin cepat dan praktis atau
dengan komputer juga mempercepat penyebaran informasi yang terkini melalui
internet.
a.
Ilmu dan Moral
Merupakan kenyataan yang tidak bisa
dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu dan teknologi.
Berkat kemajuan dalam bidang ini maka pemenuhan kebutuhan manusia bisa
dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah di samping penciptaan berbagai
kemudahan dalam bidang-bidang seperti kesehatan, pengangkutan, pemukiman,
pendidikan, dan komunikasi. Namun, dalam kenyataannya apakah ilmu itu selalu
merupakan berkah, terbebas dari kutuk, yang membawa malapetaka dan
kesengsaraan? (Jujun, 2010: 229).
Penemuan alat komunikasi handphone mempermudah manusia dalam
berkomunikasi, sejauh mana mereka berada dapat dijangkau dengan berkomunikasi
dengan handphone bahkan dalam sistem
terbaru ini yang dinamakan 3G manusia dalam berkomunikasi melalui handphone bisa melihat orangnya yang
sedang bicara. Sungguh suatu kemajuan teknologi yang luar biasa yang mampu
mendekatkan orang walaupun berada jauh jaraknya. Namun, pada akhir-akhir ini
dapat kita lihat melalui televisi tentang terror bom yang marak terjadi di
Indonesia yang dilakukan oleh sekelompok teroris yang menggunakan handphone sebagai pemicu bom. Bila handphone itu ditelepon maka bom akan
meledak. Kejadian seperti itu merupakan penyalahgunaan ilmu dalam bidang
komunikasi.
Dengan mempelajari atom kita dapat
memanfaatkannya untuk sumber energi bagi keselamatan manusia, tetapi hal ini
juga dapat menimbulkan malapetaka bagi manusia. Penciptaan bom atom akan
meningkatkan kualitas persenjataan perang, sehingga jika senjata itu
dipergunakan akan mengancam keselamatan umat manusia. Pemanfaatan ilmu yang
disalahfungsikan akan membawa kehancuran bagi dunia ini.
Dua contoh penggunaan ilmu di atas
menunjukkan bahwa ilmu itu bersifat netral artinya tidak langsung mengarah
bahwa ilmu ini baik atau ilmu itu buruk namun manusia yang menggunakannya yang
menjadikan fungsi ilmu menjadi baik atau buruk. Hal itu senada dengan yang
dikatakan oleh Tim Dosen Filsafat UGM (2003: 91) yang menyatakan bahwa sebenarnya
ilmu bersifat netral, tidak mengenal sifat baik dan buruk, manusialah yang
menjadi penentu, dengan kata lain netralitas ilmu hanya terletak pada dasar
epistemologisnya saja. Secara ontologism dan aksiologis, ilmuwan harus mampu
menilai antara yang baik dan buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan dia
menentukan sikap. Dalam hal ini seorang ilmuwan harus memiliki moral yang kuat,
agar supaya tidak menjadi (merupakan) musuh bagi kemanusiaan.
Menurut Jujun (2010: 235–236) menjelaskan
bahwa dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi
yang bersifat merusak ini para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat.
Golongan pertama menginginkan bahwa ilmu itu harus bersifat netral terhadap
nilai-nilai baik secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini tugas
ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk
mempergunakannya; apakah pengetahuan itu digunakan untuk tujuan baik atau
buruk. Golongan kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap
nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam
penggunaannya, bahkan pemilihan objek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus
berlandaskan asas-asas moral. Tahap tertinggi dalam kebudayaan moral manusia,
ujar Charles Darwin, adalah ketika kita menyadari bahwa kita seyogyanya
mengontrol pikiran kita.
Golongan pertama ingin melanjutkan tradisi
kenetralan ilmu secara total sedangkan golongan kedua mencoba menyesuaikan
kenetralan ilmu secara pragmatis berdasarkan perkembangan ilmu dan masyarakat.
Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni: (1) ilmu
secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang
dibuktikan dengan adanya dua Perang Dunia yang mempergunakan
teknologi-teknoligi keilmuan; (2) ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses
yang mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan; dan (3) ilmu telah berkembang
sedemikian rupa di mana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia
dan kemanusiaan yang paling hakiki. Berdasarkan ketiga hal ini maka golongan
kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan
manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.
Masalah moral tak bisa dilepaskan dengan
tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan
terlebih-lebih lagi untuk mempertahankan kebenaran, diperlukan keberanian
moral. Maka sebaiknya pengembangan ilmu itu harus memperhatikan nilai etik supaya
ilmu dapat dimanfaatkan dengan baik dan sebagaimana mestinya bukan malah
menjadi perusak atau penghancur kehidupan ini.
b.
Tanggung Jawab Sosial Ilmuwan
Seorang ahli yang menciptakan, menemukan,
dan atau menganalisis sesuatu yang ada di alam semesta ini yang menghasilkan
sesuatu yang dapat digunakan (yaitu ilmu) disebut ilmuwan. Dilihat secara luas,
sebenarnya ilmuwan itu hanya mendefinisikan dan menemukan karya-karya sang
pencipta (Tuhan) karena semua yang ada di alam semesta ini ciptaan Tuhan
termasuk manusia sendiri (ilmuwan itu sendiri). Namun pada makalah ini kita
lihat dari sudut pandang duniawi saja jadi ilmu itu hasil karya ilmuwan
(manusia) seperti yang diungkapkan oleh Jujun (2010: 237) menyatakan bahwa ilmu
merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara
terbuka oleh masyarakat. Penciptaan ilmu bersifat individual namun komunikasi
dan penggunaan ilmu bersifat sosial.
Ilmu itu diciptakan atau ditemukan oleh
seseorang (ilmuwan) namun dalam penggunaannya melibatkan orang banyak (sosial).
Sampai saat ini tidak ada ilmu yang ditemukan dan hanya digunakan oleh ilmuwan
itu sendiri. Contohnya penemuan lampu, tidak hanya digunakan oleh penemunya
sendiri tapi sampai saat ini digunakan oleh seluruh umat manusia di dunia.
Penemuan-penemuan yang lain akan seperti itu juga. Dikarenakan hasil temuan
seorang ilmuwan itu dipergunakan oleh masyarakat maka ilmuwan itu menjadi
mempunyai tanggung jawab sosial. Tanggung jawab akan ilmu yang telah
ditemukannya.
Wujud tanggung jawab sosial ilmuwan adalah
mengantarkan ilmunya supaya dapat digunakan di masyarakat dengan baik dan
menimalisir terjadinya penyalahgunaan ilmu itu. Ilmuwan harus bisa menjelaskan
hasil temuannya terhadap masyarakat supaya masyarakat mengerti tentang ilmu
temuannya dan kegunaannya.
Jujun (2010: 239-244) menjelaskan dan
mengilustrasikan tanggung jawab sosial ilmuwan sebagai berikut. Semua
penelaahan ilmiah dimulai dengan menentukan masalah dan demikian juga halnya
dengan proses pengambilan keputusan dalm hidup bermsayarakat. Apakah mungkin
suatu masalah diselesaikan sekiranya masyarakat itu sendiri tidak sadar akan
pentingnya masalah tersebut? Seumpamanya mengenai keselamatan system pembangkit
tenaga listrik yang mempergunakan tenaga nuklir. Sukar bagi masyarakat awam
untuk menyadari seberapa jauh tindakan pengamanan telah dilakukan? Apakah
lokasinya telah dapat ditinjau dari tempat pemukiman yang padat? Bahaya apakah
yang mungkin menimpa? Perlukah masyarakat mengetahui tindakan-tindakan ini
penyelamatan ini?
Pada masalah seperti di atas maka peranan
ilmuwan menjadi sesuatu yang imperative. Dialah yang mempunyai latar belakang
pengetahuan yang cukup untuk dapat menempatkan masalah tersebut pada proporsi
yang sebenarnya. Oleh sebab itu dia mempunyai kewajiban sosial untuk menyampaikan
hal itu kepada masyarakat banyak dalam bahasa yang dapat mereka cerna.
Mungkin pula terjadi masyarakat telah
merasakan adanya masalah tertentu yang perlu dipecahkan namun karena satu dan
lain hal masalah itu belum muncul ke permukaan dan mendapat dukungan. Dalam hal
seperti ini maka seorang ilmuwan harus tampil ke depan dan berusaha
mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah tersebut. Seorang ilmuwan
terpanggil dalam tanggung jawab sosial mengenai hal ini karena dia mempunyai
kemampuan untuk bertindak persuasif dan argumentatif berdasarkan pengetahuan
yang dia miliki.
Proses menemukan kebenaran secara ilmiah
mempunyai implikasi etis bagi seorang ilmuwan. Karakteristik proses tersebut
merupakan kategori moral yang melandasi sikap etis seorang ilmuwan. Kegiatan
intelektual yang meninggikan kebenaran sebagai tujuan akhirnya mau tidak mau
akan mempengaruhi pandangan moral. Kebenaran berfungsi bukan saja sebagai jalan
pikirannya namun seluruh jalan hidupnya. Dalam usaha masyarakat untuk
menegakkan kebenaran inilah maka seorang ilmuwan terpanggil oleh kewajiban
socialnya, bukan saja sebagai penganalisis materi kebenaran tersebut namun
sebagai propotipe moral yang baik.
Di bidang etika tanggung jawab sosial
seorang ilmuwan bukan lagi memberikan informasi namun memberi contoh. Dia harus
tampil di depan bagaimana caranya bersifat obyektif, terbuka, menerima kritik,
menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggapnya benar, dan
kalau perlu berani mengakui kesalahan. Semua sifat ini merupakan implikasi etis
dari proses penemuan kebenaran secara ilmiah. Di tengah situasi di mana segenap
nilai mengalami kegoncangan maka seorag ilmuwan harus tampil ke depan.
Pengetahuan yang dimilikinya merupakan kekuatan yang akan memberinya
keberanian. Demikian juga dalam masyarakat yang sedang membangun maka dia harus
bersikap sebagai seorang pendidik dengan memberikan suri teladan.
Aspek etika dari hakikat keilmuan ini kurang
mendapatkan perhatian baik dari para pedidik maupun para ilmuwan itu sendiri.
Kita cenderung untuk mendidik anak-anak kita menjadi cerdas tanpa mempersiapkan
mereka dengan seksama agar kecerdasan itu dilengkapi dengan nilai-nilai moral
yang luhur.
Untuk mencetak ilmuwan yang mempunyai nilai
moral yang luhur mungkin di sinilah pentingnya perlu diberikan pendidikan
karakter bagi calon ilmuwan. Dengan bekal nilai moral yang luhur yang diberikan
sejak di bangku sekolah diharapkan nanti kalau sudah besar bisa menjadi ilmuwan
yang baik yang mampu mengembangkan ilmu dengan baik dan bermanfaat dengan baik
pula sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan hidup manusia.
2.6 ASPEK AKSIOLOGI PADA PENDIDIKAN MATEMATIKA
Aspek aksiologi merupakan aspek yang membahas tentang untuk
apa ilmu itu digunakan khususnya dalam pendidikan matematika dan nilai apa yang
dapat diperoleh bagi kehidupan seseorang jika belajar tentang pendidikan
matematika. Pada dasarnya pendidikan matematika harus
digunakan untuk kepentingan semua orang karena hal itu akan memberikan manfaat
baik siswa maupun guru. Banyak hal yang dapat dipetik dari mempelajari filsafat
salah satunya dengan mengadakan refleksi terhadap pembelajaran karena dengan
melakukan refleksi maka seseorang telah menggunakan tingkat berpikir yang cukup
tinggi.
BAB III
KESIMPULAN
Di dalam pengembangan pengetahuan terdapat tiga landasan ilmu yakni
ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Pertama, landasan ontologi yakni
membahas objek yang ditelaah ilmu. Ini berarti ilmu harus mempunyai objek
penelaah yang jelas. Kedua, landasan epistemologi adalah cara yang digunakan
untuk mengkaji atau menelaah sehingga diperolehnya ilmu tersebut. Metode ilmiah
pada dasarnya untuk semua disiplin ilmu yaitu berupa proses kegiatan
induksi-deduksi-verifikasi. Ketiga, landasan aksiologi yang berhubungan dengan
penggunaan ilmu tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia. Dengan kata
lain, apa yang dapat disumbangkan ilmu terhadap peningkatan kualitas hidup
manusia.
Ontologi ilmu membatasi diri pada ruang
kajian keilmuan yang bisa dipikirkan manusia secara rasional dan yang bisa
diamati melalui panca indera manusia. Wilayah ontologi ilmu terbatas pada
jangkauan pengetahuan ilmiah manusia.
Epistemologi senantiasa
mendorong manusia untuk selalu berfikir dan berkreasi menemukan dan menciptakan
sesuatu yang baru. Pada awalnya seseorang yang berusaha menciptakan sesuatu
yang baru, mungki saja mengalami kegagalan tetapi kegagalan itu dimanfaatkan
sebagai bagian dari proses menuju keberhasilan. Sebab dibalik kegagalan itu
ditemukan rahasia pengetahuan, berupa faktor-faktor penyebabnya.
Filsafat Pendidikan matematika bermula dari pertanyaan dan berakhir pada pertanyaan. Hakikat filsafat
pendidikan matematika adalah bertanya terus-menerus,
karenanya dikatakan bahwa filsafat adalah sikap bertanya itu sendiri. Dengan
bertanya, filsafat mencari kebenaran. Namun, filsafat tidak menerima kebenaran
apapun sebagai sesuatu yang sudah selesai. Yang muncul adalah sikap kritis,
meragukan terus kebenaran yang ditemukan. Dengan bertanya, orang menghadapi
realitas kehidupan sebagai suatu masalah, sebagai sebuah pertanyaan, tugas
untuk digeluti, dicari tahu jawabannya.
DAFTAR PUSTAKA
Dany Alawiyah. (2012). Landasan
penelaahan ilmu : Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi. http://dany-momentum.blogspot.com/2012/06/landasan-penelaahan-ilmu-ontologi.html.
Husnan Sulaiman dan Munasir. Landasan Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Dalam
Filsafat Ilmu.http://suksespend.blogspot.com/2009/06/makalah-landasan-ontologi epistemologi.html.
Jujun S Suriasumantri. (2009). Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Muhammad Adib. (2011).
Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir. (2012). Filsafat
Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sri Soeprapto. (1997). Landasan Ontologi Ilmu. Makalah Internship. Yogyakarta: Fakultas
Filsafat Universitas Gadjah Mada
Surajiyo. (2010). Filsafat
Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. (2003). Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty