Jumat, 04 Januari 2013

Tugas Akhir Makalah Filsafat


BAB I
PENDAHULUAN

Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang filsafat yang mengkaji tentang ilmu. Filsafat ilmu bertujuan untuk menganalisis ilmu pengetahuan dan bagaimana cara memperoleh ilmunya. Ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar untuk mengambil keputusan, di mana keputusan tersebut harus didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif. Ilmu pengetahuan diperoleh dari pemahaman manusia tentang apa yang ada di alam semesta yang nantinya dapat dimanfaatkan dalam pengembangan kehidupan ke arah yang lebih baik.
Pengetahuan yang merupakan produk berpikir merupakan dasar bagi manusia dalam menemukan dirinya dan menghayati hidup dengan lebih sempurna. Berbagai peralatan dikembangkan oleh manusia dalam rangka meningkatkan kualitas hidupnya dengan jalan menerapkan pengetahuan yang diperolehnya. Manusia selalu berada pada proses berpikir dalam rangka menghasilkan hal-hal baru yang berasal dari pengetahuan yang diperoleh. Proses dan penemuan itulah yang menghasilkan produk-produk dalam bentuk teknologi yang dapat membantu menghadapi masalah hidup.
Pada hakikatnya, upaya manusia dalam memperoleh ilmu pengetahuan didasarkan pada tiga pokok masalah. Tiga pokok masalah ini merupakan landasan untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Pengembangan pengetahuan tidak serta-merta diperoleh dengan melihat apa yang ada, tetapi harus melalui proses yang ilmiah. Apa yang diperoleh dari pengembangan ilmu tersebut dapat dimanfaatkan untuk kehidupan. Tiga landasan pokok yang dimaksud adalah ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Ontologi yakni menyangkut mengenai apakah yang ingin diketahui atau mengenai hakikat yang akan dikaji, epistemologi yaitu membahas bagaimana cara memperoleh ilmu pengetahuan, sedangkan aksiologi yakni apakah nilai kegunaan dari ilmu pengetahuan bagi kehidupan.
Ontologi berfungsi untuk menjawab sejumlah pertanyaan yang berhubungan dengan objek yang ditelaah ilmu. Pertanyaan-pertanyaan itu antara lain: Bagaimana wujud hakiki objek tersebut?, Bagaimana hubungan objek dengan daya tangkap manusia (misalnya berpikir, merasa, dan mengindra)? Epistemologi bertujuan untuk mengkaji bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan berupa ilmu. Pertanyaan-pertanyaan yang dijawab oleh epistemologi antara lain: Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu? Dari mana pengetahuan itu dapat diperoleh? Cara/teknik/sarana apa yang dapat membantu mendapatkan pengetahuan berupa ilmu? Aksiologi berfungsi untuk mengetahui kegunaan ilmu. aksiologi diperkaya dengan pertanyaan-pertanyaan antara lain: Apa fungsi pengetahuan yang berupa ilmu itu? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral?

BAB II
PEMBAHASAN

2.1    ASPEK ONTOLOGI
            Ontologi merupakan bagian dari filsafat yang mengkaji tentang hakikat sesuatu yang berwujud atau sesuatu yang ada dengan berdasarkan pada logika semata. Ontologi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas dua kata yakni ontos dan logos. Ontos berarti “sesuatu yang berwujud” dan logos berarti “ilmu”. Jadi ontologi dapat diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada. 
            Argumen mengenai ontologi pertama kali dilontarkan oleh Plato (428-348 SM) dengan teori ideanya. Menurut Plato, tiap-tiap yang ada di alam nyata mesti ada ideanya. Idea maksudnya adalah definisi atau konsep universal dari tiap sesuatu. Argumen kedua tentang ontologi diungkapkan oleh St. Augustine (354-430 M). Menurut Augustine, manusia mengetahui dari pengalaman hidupnya bahwa dalam alam ini ada kebenaran. Namun, akal manusia terkadang merasa bahwa ia mengetahui yang benar, tetapi terkadang merasa ragu bahwa apa yang dia ketahui adalah suatu kebenaran (Muhammad Adib, 2011: 70-71). Manusia sering kali tahu akan kebenaran tentang suatu hal yang ada di alam ini. Namun di sisi lain terkadang manusia juga masih meragukan kebenaran itu sebelum manusia membuktikan akan suatu yang dipercayai tersebut. Penemuan kebenaran salah satunya dapat dilakukan dengan melakukan penelitian yang ilmiah.
            Jujun (2009) dalam bukunya memaparkan bagian dari ontologi itu adalah metafisika. Metafisika merupakan cabang filsafat yang mempelajari penjelasan tentang asal atau hakikat objek (fisik) di dunia. Tafsiran yang paling utama dalam metafisika adalah bahwa di alam ini terdapat hal-hal yang bersifat gaib (supernatural).
Animisme merupakan kepercayaan yang berasal dari pemikiran supernatural, di mana manusia mempercayai bahwa terdapat roh-roh yang bersifat gaib yang terdapat di dalam benda-benda seperti pohon dan batu besar. Selain aliran animisme juga terdapat aliran naturalisme yang menolak pendapat  bahwa terdapat suatu wujud yang bersifat supernatural. Paham materialism ini yang merupakan bagian dari naturalisme yang menyatakan bahwa setiap gejala yang terjadi di alam ini tidak disebabkan oleh pengaruh kekuatan yang gaib, melainkan oleh kekuatan yang ada dalam alam itu sendiri yang dapat dipelajari dan dapat kita ketahui.
Terdapat dua objek bahasan dalam metafisika. Pertama, objek material yang menjelaskan bahwa metafisika adalah sesuatu yang ada. Loren Bagus (1991) dalam makalah Sri Soeprapto menjelaskan bahwa objek material filsafat meliputi semua realitas dalam semua bentuknya, baik bentuk yang indrawi maupun yang tidak indrawi. Bahasan filsafat kedua yakni objek formal. Loren bagus (1991) menyebutkan bahwa metafisika adalah bahasan tentang hakikat seluruh realitas. Metafisika membahas hal yang sangat sederhana, tetapi menjadi dasar bagi semua macam pengetahuan. (Sri Soeprapto, 1997: 2)
Hakikat kenyataan atau realitas dapat dilihat dari dua sudut pandang yakni kuantitatif dan kualitatif. Kuantitatif yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan tersebut tunggal atau jamak. Sedangkan kualitatif yaitu mempertanyakan apakah kenyataan atau realitas tersebut memiliki kualitas tertentu.
Muhammad Adib (72: 2011) menyatakan bahwa aspek ontologi dalam ilmu pengetahuan dapat diuraikan secara metodis; menggunakan cara ilmiah, sistematis; saling berkaitan satu sama lain secara teratur dalam satu keseluruhan, koheren; unsur-unsurnya tidak boleh mengandung uraian yang bertentangan, rasional; harus berdasarkan pada kaidah berpikir yang benar (logis), komprehensif; melihat objek tidak hanya dari satu sisi/sudut pandang melainkan secara multidimensional atau secara keseluruhan (holistik), radikal; diuraikan sampai akar persoalannya, dan universal; muatan kebenarannya sampai tingkat umum yang berlaku di mana saja.
Adapun karakteristik dari ontologi ilmu pengetahuan adalah:
a.         Ilmu berasal dari riset (penelitian)
b.         Tidak ada konsep wahyu
c.         Adanya konsep pengetahuan empiris
d.        Pengetahuan rasional, bukan keyakinan
e.         Pengetahuan objektif
f.          Pengetahuan sistematik
g.         Pengetahuan metodologis
h.         Pengetahuan observatif (observeble)
i.           Menghargai asas verivikasi (pembuktian)
j.           Menghargai asas eksplanatif (penjelasan)
k.         Menghargai asas keterbukaan dan dapat diulang kembali
l.           Menghargai asas skeptikisme yang radikal
m.       Melakukan pembuktian bentuk kausalitas
n.         Mengakui pengetahuan dan konsep yang relative (bukan absolut)
o.         Mengakui adanya logika-logika ilmiah
p.         Memiliki berbagai hipotesis dan teori-teori ilmiah
q.         Mengetahui konsep tentang hukum-hukum alam yang telah dibuktikan
r.          Pengetahuan bersifat netral atau tidak memihak
s.          Menghargai berbagai metode eksperimen
t.          Melakukan terapan ilmu menjadi teknologi.

2.2    ASPEK ONTOLOGI PADA PENDIDIKAN MATEMATIKA
Ontologi adalah teori mengenai apa yang ada dan membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan tertentu. Eksistensi dari entitas-entitas matematika juga menjadi bahan pemikiran filsafat. Adapun metode-metode yang digunakan antara lain adalah: abstraksi fisik yang dimana berpusat pada suatu obyek, abstraksi bentuk adalah sekumpulan obyek yang sejenis, abstraksi metafisik adalah sifat obyek yang general. Jadi aspek ontologi dipandang untuk mengkaji bagaimana mencari inti yang cermat dari setiap kenyataan yang ditemukan, membahas apa yang kita ingin ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, menyelidiki sifat dasar dari apa yang nyata secara fundamental.
Ross, DS dalam Marsigit (2010) menyatakan bahwa ada beberapa pertanyaan ontologis dalam Filsafat Matematika:
Apakah asal dari objek matematika? Dengan cara apa objek matematika ada? Apakah mereka selalu hadir sebagai abstraksi 'Platonis', atau apakah mereka memerlukan pikiran untuk membawa mereka menjadi ada? Dapatkah obyek matematika ada dalam ketiadaan peduli atau hal-hal untuk menghitung?
       Filsafat pendidikan matematika adalah refleksi terhadap pendidikan matematika itu sendiri, meliputi semua yang ada dan yang mungkin ada dalam pendidikan matematika (Marsigit, 2010). Filsafat pendidikan matematika memperbincangkan semua obyek-obyek yang ada didalamnya antara lain: matematika, guru, siswa, kegiatan, alat dan sebagainya.
Aspek ontologi pada pendidikan matematika akan diuraikan sebagai berikut :
a)        Metodis;  matematika merupakan ilmu ilmiah (bukan fiktif)
b)        Sistematis; pendidikan matematika adalah ilmu telaah pola dan hubungan artinya kajian-kajian pendidikan matematika saling berkaitan antara satu sama lain
c)        Koheren; konsep, perumusan, definisi dan teorema dalam matematika saling bertautan dan tidak bertentangan
d)       Rasional; pendidikan matematika sesuai dengan kaidah berpikir yang benar dan logis
e)        Komprehensif; objek dalam pendidikan matematika dapat dilihat secara multidimensional (dari berbagai sudut pandang)
f)         Universal; Pendidikan matematika kebenarannya berlaku secara umum dan di mana saja terikat oleh ruang dan waktu.

2.3    ASPEK EPISTEMOLOGI
Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Secara etomologi, istilah epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme yang berarti ‘pengetahuan’ dan logos yang berarti ‘teori’. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan syahnya (validitas) pengetahuan.
Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah:
1.        Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu?
2.        Dari mana pengetahuan itu dapat diperoleh?
3.        Cara/teknik/sarana apa yang dapat membantu mendapatkan pengetahuan berupa ilmu?
Epistemologi meliputi sumber, sarana, dan tata cara menggunakan sarana tersebut untuk mencapai pengetahuan (ilmiah). Perbedaan mengenai pilihan landasan ontologi akan dengan sendirinya mengakibatkan perbedaan dalam menentukan sarana yang akan kita pilih. Akal (Verstand), akal budi (Vernunft), pengalaman, atau kombinasi antara akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana yang dimaksud oleh epistemologi, sehingga dikenal dengan adanya model-model epiostemologi, seperti: rasionalisme, empirisme, kritisisme atau rasionalisme kritis, positivisme, fenomonologis dengan berbagai variasinya (Husnan Sulaiman dan Munasir, 2009).
Epistemologi menyoroti tata cara, teknik, atau prosedur mendapatkan ilmu dan keilmuan. Menurut Husnan Sulaiman dan Munasir (2009), tata cara, teknik, atau prosedur mendapatkan ilmu dan keilmuan adalah:
1.        Metode non-ilmiah
Metode non-ilmiah adalah pengetahuan yang diperoleh dengan cara penemuan secara kebetulan; untung-untungan (trial and error); akal sehat (common sense); prasangka; otoritas (kewibawaan dan pengalaman biasa).
2.        Metode ilmiah
Metode ilmiah adalah cara memperoleh pengetahuan melalui pendekatan deduktif dan induktif.
3.      Metode problem solving
Metode problem solving adalah memecahkan masalah dengan cara mengidentifikasi pemasalahan, merumuskan hipotesisi, mengumpulkan data, mengorganisasi dan menganalisis data, menyimpulkan, melakukan verifikasi.
              Epistemologi bertalian dengan definisi dan konsep-konsep ilmu, ragam ilmu yang bersifat nisbi dan niscaya, dan relasi eksak antara lain ‘alim (subjek) dan ma’lum (objek). Dengan kata lain, epistemologi adalah bagian filsafat yang meneliti asal-usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting daam menanyakan apa yang dapat kita ketahui sebelum menjelaskannya.
Secara general, aliran dalam epistemologi terbagi menjadi dua, yaitu:
1.        Rasionalisme atau idealisme
Rasionalisme menekankan pada pentingnya peran ‘akal’ dan ‘idea’ sebagai sumber ilmu pengetahuan, sedangkan panca indera dinomorduakan.
2.        Empirisme atau realisme
Aliran ini berbicara tentang penekanan ‘indra’ dan ‘pengalaman’ sebagai sumber sekaligus alat dalam memperoleh pengetahuan.
Kedua kelompok ini saling bersitegang, hingga muncullah aliran ketiga, yaitu Rasionalisme Kritis yang menekankan adanya kategori sintesis yakni perpaduan antara kedua sumber pengetahuan (akal dan rasio) dalam sebuah ilmu pengetahuan.
Pengetahuan yang diperoleh oleh manusia melalui akal, indra, dan lain-lain mempunyai metode tersendiri dalam teori pengetahuan. Metode-metode tersebut, menurut Husnan Sulaiman dan Munasir (2009), di antaranya adalah sebagai berikut.
1.        Metode Induktif
Induksi yaitu suatu metode yang menyimpulkan pernyataan-pernyatan hasil observasi disimpulkan dalam suatu pernyataan yang lebih umum. Bertolak dari pernyataan-pernyataan tunggal sampai pada pernyataan-pernyataan universal.
Dalam induksi, setelah diperoleh pengetahuan, maka akan dipergunakan hal-hal lain, seperti ilmu mengajarkan kita bahwa kalau logam dipanasi, ia mengembang. Bertolak dari teori ini, kita akan tahu bahwa logam lain yang kalau dipanasi juga akan mengembang. Dari contoh di atas bisa diketahui bahwa induksi tersebut memberikan suatu pengetahuan yang disebut sintetik.
2.        Metode Deduktif
Deduksi ialah suatu metode yang menyimpulkan bahwa data-data empirik diolah lebih lanjut dalam suatu sistem pernyataan yang runtut. Hal-hal yang harus ada dalam metode deduktif ialah adanya perbandingan logis antara kesimpulan-kesimpulan itu sendiri. Ada penyelidikan bentuk logis teori itu dengan tujuan apakah teori tersebut mempunyai sifat empiris atau ilmiah, ada perbandingan dengan teori-teori lain dan ada pengujian teori dengan jalan menerapkan secara empiris kesimpulan-kesimpulan yang bisa ditarik dari teori tersebut.
3.        Metode Positivisme
Metode ini dikeluarkan oleh August Comte (1798-1857). Metode ini berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang faktual, yang positif. Ia mengesampingkan segala uraian/persoalan di luar yang ada sebagai fakta. Oleh karena itu, ia menolak metafisika. Apa yang diketahui secara positif, adalah segala yang tampak dan segala gejala. Dengan demikian metode ini dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan dibatasi kepada bidang gejala-gejala saja.
4.        Metode Kontemplatif
Metode ini mengatakan adanya keterbatasan indera dan akal manusia untuk memperoleh pengetahuan, sehingga objek yang dihasilkan pun akan berbeda-beda harusnya dikembangkan sutu kemampuan akal yang disebut dengan intuisi. Pengetahuan yang diperoleh lewat intuisi ini bisa diperoleh dengan cara berkontemplasi.
5.        Metode Dialektis
Dalam filsafat, dialektika mula-mula berarti metode tanya-jawab untuk mencapai kejernihan filsafat. Metode ini diajarkan oleh Socrates. Namun Plato mengartikannya sebagai diskusi logika. Kini dialektika berarti tahap logika, yang mengajarkan kaidah-kaidah dan metode-metode penuturan, juga analisis sistematik tentang ide-ide untuk mencapai apa yang terkandung dalam pandangan.
Dari karakteristik dasarnya, pengetahuan dapat dibedakan menjadi setidaknya empat pengetahuan, yakni sebagai berikut.
1.        Pengetahuan indrawi
Pengetahuan indrawi adalah pengetahuan yang didapatkan melalui indera (sense) atau pengalaman (empiric).
2.        Pengetahuan akal budi
Pengetahuan akal budi adalah pengetahuan yang didapatkan melalui pendasaran rasio atau pemikiran.
Kedua pengetahuan di atas disebut sebagai dasar dari pengetahuan ilmiah. Berbeda dengan keduanya, dua pengetahuan terakhir seringkali dipertanyakan kadar keilmiahannya. Kedua pengetahuan tersebut adalah:
3.        Pengetahuan intuitif
Pengetahuan intuitif adalah pengetahuan yang didapatkan dari kesadaran akan pengalaman langsung, melalui intuisi.
4.        Pengetahuan Kepercayaan
Pengetahuan kepercayaan adalah pengetahuan yang didapatkan dari otoritas atau profesionalitas seorang tokoh atau sekelompok orang. Pengetahuan yang didapatkan dari doktrin agama biasanya dimasukkan ke dalam pengetahuan jenis ini.

2.4    ASPEK EPISTEMOLOGI PADA PENDIDIKAN MATEMATIKA
Problem dasar pendidikan matematika kita di Indonesia adalah siswa atau mahasiswa tidak dibiasakan untuk menginterpretasikan sebuah persoalan. Padahal, matematika itu adalah interpretasi manusia terhadap fenomena alam. Dampaknya, siswa bahkan mahasiswa, pandai mengerjakan soal, tetapi tidak bisa memberikan makna dari soal itu. Matematika hanya diartikan sebagai sebuah persoalan hitung-hitungan yang siap untuk diselesaikan atau dicari jawabannya. Ini akibat tidak diajarkannya filsafat atau latar belakang ilmu matematika.
Filsafat yang sangat berpengaruh terhadap pembelajaran matematika adalah filsafat kontruktivism. Filsafat ini menjelaskan bahwa pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang mengenal sesuatu. Setiap siswa mempunyai skema sendiri tentang apa yang diketahuinya. Filsafat ini menjelaskan bahwa berpikir yang baik adalah lebih penting daripada jawaban yang benar atas suatu persoalan yang dipelajari. Dalam pembelajaran yang diperlukan saat ini adalah suatu proses untuk mencapai tujuannya, bukan hasil akhir saja.


2.5    ASPEK AKSIOLOGI
Secara etimologi, istilah axiology berasal dari kata axios dan logos. Axios artinya nilai atau sesuatu yang berharga, logos artinya akal, teori. Axiology artinya teori nilai (Rizal dan Misnal, 2012: 26).
Landasan aksiologis ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari pengetahuan yang didapatkannya atau berkaitan dengan dampak ilmu bagi umat manusia. Persoalan utama yang mengedepankan di sini ialah: apa manfaat ilmu bagi umat manusia?, untuk apa ilmu itu digunakan?, apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak?. Dalam hal ini nilai kegunaan ilmu menempati posisi yang sangat penting. Dapatkah ilmu membantu manusia untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari atau justru sebaliknya? (Rizal dan Misnal, 2012: 38-39).
Landasan aksiologi mengulas tentang peran ilmu terhadap kegunaannya bagi umat manusia. Ada objek yang dikaji kemudian ada metode untuk mengkajinya dan setelah diperoleh ilmu baru kemudian pemanfaatannya. Ilmu dapat mempermudah pekerjaan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya maupun memecahkan masalah dalam hidup. Berkembangnya ilmu sampai saat ini dapat dirasakan manfaatnya yang membuat pemenuhan kebutuhan hidup terasa semakin lebih mudah. Contohnya dengan ditemukan komputer dapat mempercepat pelayanan di suatu toko menjadi semakin cepat dan praktis atau dengan komputer juga mempercepat penyebaran informasi yang terkini melalui internet.
a.      Ilmu dan Moral
Merupakan kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban manusia sangat berhutang kepada ilmu dan teknologi. Berkat kemajuan dalam bidang ini maka pemenuhan kebutuhan manusia bisa dilakukan secara lebih cepat dan lebih mudah di samping penciptaan berbagai kemudahan dalam bidang-bidang seperti kesehatan, pengangkutan, pemukiman, pendidikan, dan komunikasi. Namun, dalam kenyataannya apakah ilmu itu selalu merupakan berkah, terbebas dari kutuk, yang membawa malapetaka dan kesengsaraan? (Jujun, 2010: 229).
Penemuan alat komunikasi handphone mempermudah manusia dalam berkomunikasi, sejauh mana mereka berada dapat dijangkau dengan berkomunikasi dengan handphone bahkan dalam sistem terbaru ini yang dinamakan 3G manusia dalam berkomunikasi melalui handphone bisa melihat orangnya yang sedang bicara. Sungguh suatu kemajuan teknologi yang luar biasa yang mampu mendekatkan orang walaupun berada jauh jaraknya. Namun, pada akhir-akhir ini dapat kita lihat melalui televisi tentang terror bom yang marak terjadi di Indonesia yang dilakukan oleh sekelompok teroris yang menggunakan handphone sebagai pemicu bom. Bila handphone itu ditelepon maka bom akan meledak. Kejadian seperti itu merupakan penyalahgunaan ilmu dalam bidang komunikasi.
Dengan mempelajari atom kita dapat memanfaatkannya untuk sumber energi bagi keselamatan manusia, tetapi hal ini juga dapat menimbulkan malapetaka bagi manusia. Penciptaan bom atom akan meningkatkan kualitas persenjataan perang, sehingga jika senjata itu dipergunakan akan mengancam keselamatan umat manusia. Pemanfaatan ilmu yang disalahfungsikan akan membawa kehancuran bagi dunia ini.
Dua contoh penggunaan ilmu di atas menunjukkan bahwa ilmu itu bersifat netral artinya tidak langsung mengarah bahwa ilmu ini baik atau ilmu itu buruk namun manusia yang menggunakannya yang menjadikan fungsi ilmu menjadi baik atau buruk. Hal itu senada dengan yang dikatakan oleh Tim Dosen Filsafat UGM (2003: 91) yang menyatakan bahwa sebenarnya ilmu bersifat netral, tidak mengenal sifat baik dan buruk, manusialah yang menjadi penentu, dengan kata lain netralitas ilmu hanya terletak pada dasar epistemologisnya saja. Secara ontologism dan aksiologis, ilmuwan harus mampu menilai antara yang baik dan buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan dia menentukan sikap. Dalam hal ini seorang ilmuwan harus memiliki moral yang kuat, agar supaya tidak menjadi (merupakan) musuh bagi kemanusiaan.
Menurut Jujun (2010: 235–236) menjelaskan bahwa dihadapkan dengan masalah moral dalam menghadapi ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak ini para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat. Golongan pertama menginginkan bahwa ilmu itu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini tugas ilmuwan adalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya; apakah pengetahuan itu digunakan untuk tujuan baik atau buruk. Golongan kedua sebaliknya berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya, bahkan pemilihan objek penelitian, maka kegiatan keilmuan harus berlandaskan asas-asas moral. Tahap tertinggi dalam kebudayaan moral manusia, ujar Charles Darwin, adalah ketika kita menyadari bahwa kita seyogyanya mengontrol pikiran kita.
Golongan pertama ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total sedangkan golongan kedua mencoba menyesuaikan kenetralan ilmu secara pragmatis berdasarkan perkembangan ilmu dan masyarakat. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni: (1) ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia yang dibuktikan dengan adanya dua Perang Dunia yang mempergunakan teknologi-teknoligi keilmuan; (2) ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi penyalahgunaan; dan (3) ilmu telah berkembang sedemikian rupa di mana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki. Berdasarkan ketiga hal ini maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan.
Masalah moral tak bisa dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih-lebih lagi untuk mempertahankan kebenaran, diperlukan keberanian moral. Maka sebaiknya pengembangan ilmu itu harus memperhatikan nilai etik supaya ilmu dapat dimanfaatkan dengan baik dan sebagaimana mestinya bukan malah menjadi perusak atau penghancur kehidupan ini.

b.      Tanggung Jawab Sosial Ilmuwan
Seorang ahli yang menciptakan, menemukan, dan atau menganalisis sesuatu yang ada di alam semesta ini yang menghasilkan sesuatu yang dapat digunakan (yaitu ilmu) disebut ilmuwan. Dilihat secara luas, sebenarnya ilmuwan itu hanya mendefinisikan dan menemukan karya-karya sang pencipta (Tuhan) karena semua yang ada di alam semesta ini ciptaan Tuhan termasuk manusia sendiri (ilmuwan itu sendiri). Namun pada makalah ini kita lihat dari sudut pandang duniawi saja jadi ilmu itu hasil karya ilmuwan (manusia) seperti yang diungkapkan oleh Jujun (2010: 237) menyatakan bahwa ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan dikaji secara terbuka oleh masyarakat. Penciptaan ilmu bersifat individual namun komunikasi dan penggunaan ilmu bersifat sosial.
Ilmu itu diciptakan atau ditemukan oleh seseorang (ilmuwan) namun dalam penggunaannya melibatkan orang banyak (sosial). Sampai saat ini tidak ada ilmu yang ditemukan dan hanya digunakan oleh ilmuwan itu sendiri. Contohnya penemuan lampu, tidak hanya digunakan oleh penemunya sendiri tapi sampai saat ini digunakan oleh seluruh umat manusia di dunia. Penemuan-penemuan yang lain akan seperti itu juga. Dikarenakan hasil temuan seorang ilmuwan itu dipergunakan oleh masyarakat maka ilmuwan itu menjadi mempunyai tanggung jawab sosial. Tanggung jawab akan ilmu yang telah ditemukannya.
Wujud tanggung jawab sosial ilmuwan adalah mengantarkan ilmunya supaya dapat digunakan di masyarakat dengan baik dan menimalisir terjadinya penyalahgunaan ilmu itu. Ilmuwan harus bisa menjelaskan hasil temuannya terhadap masyarakat supaya masyarakat mengerti tentang ilmu temuannya dan kegunaannya.
Jujun (2010: 239-244) menjelaskan dan mengilustrasikan tanggung jawab sosial ilmuwan sebagai berikut. Semua penelaahan ilmiah dimulai dengan menentukan masalah dan demikian juga halnya dengan proses pengambilan keputusan dalm hidup bermsayarakat. Apakah mungkin suatu masalah diselesaikan sekiranya masyarakat itu sendiri tidak sadar akan pentingnya masalah tersebut? Seumpamanya mengenai keselamatan system pembangkit tenaga listrik yang mempergunakan tenaga nuklir. Sukar bagi masyarakat awam untuk menyadari seberapa jauh tindakan pengamanan telah dilakukan? Apakah lokasinya telah dapat ditinjau dari tempat pemukiman yang padat? Bahaya apakah yang mungkin menimpa? Perlukah masyarakat mengetahui tindakan-tindakan ini penyelamatan ini?
Pada masalah seperti di atas maka peranan ilmuwan menjadi sesuatu yang imperative. Dialah yang mempunyai latar belakang pengetahuan yang cukup untuk dapat menempatkan masalah tersebut pada proporsi yang sebenarnya. Oleh sebab itu dia mempunyai kewajiban sosial untuk menyampaikan hal itu kepada masyarakat banyak dalam bahasa yang dapat mereka cerna.
Mungkin pula terjadi masyarakat telah merasakan adanya masalah tertentu yang perlu dipecahkan namun karena satu dan lain hal masalah itu belum muncul ke permukaan dan mendapat dukungan. Dalam hal seperti ini maka seorang ilmuwan harus tampil ke depan dan berusaha mempengaruhi opini masyarakat terhadap masalah tersebut. Seorang ilmuwan terpanggil dalam tanggung jawab sosial mengenai hal ini karena dia mempunyai kemampuan untuk bertindak persuasif dan argumentatif berdasarkan pengetahuan yang dia miliki.
Proses menemukan kebenaran secara ilmiah mempunyai implikasi etis bagi seorang ilmuwan. Karakteristik proses tersebut merupakan kategori moral yang melandasi sikap etis seorang ilmuwan. Kegiatan intelektual yang meninggikan kebenaran sebagai tujuan akhirnya mau tidak mau akan mempengaruhi pandangan moral. Kebenaran berfungsi bukan saja sebagai jalan pikirannya namun seluruh jalan hidupnya. Dalam usaha masyarakat untuk menegakkan kebenaran inilah maka seorang ilmuwan terpanggil oleh kewajiban socialnya, bukan saja sebagai penganalisis materi kebenaran tersebut namun sebagai propotipe moral yang baik.
Di bidang etika tanggung jawab sosial seorang ilmuwan bukan lagi memberikan informasi namun memberi contoh. Dia harus tampil di depan bagaimana caranya bersifat obyektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggapnya benar, dan kalau perlu berani mengakui kesalahan. Semua sifat ini merupakan implikasi etis dari proses penemuan kebenaran secara ilmiah. Di tengah situasi di mana segenap nilai mengalami kegoncangan maka seorag ilmuwan harus tampil ke depan. Pengetahuan yang dimilikinya merupakan kekuatan yang akan memberinya keberanian. Demikian juga dalam masyarakat yang sedang membangun maka dia harus bersikap sebagai seorang pendidik dengan memberikan suri teladan.
Aspek etika dari hakikat keilmuan ini kurang mendapatkan perhatian baik dari para pedidik maupun para ilmuwan itu sendiri. Kita cenderung untuk mendidik anak-anak kita menjadi cerdas tanpa mempersiapkan mereka dengan seksama agar kecerdasan itu dilengkapi dengan nilai-nilai moral yang luhur.
Untuk mencetak ilmuwan yang mempunyai nilai moral yang luhur mungkin di sinilah pentingnya perlu diberikan pendidikan karakter bagi calon ilmuwan. Dengan bekal nilai moral yang luhur yang diberikan sejak di bangku sekolah diharapkan nanti kalau sudah besar bisa menjadi ilmuwan yang baik yang mampu mengembangkan ilmu dengan baik dan bermanfaat dengan baik pula sehingga bisa meningkatkan kesejahteraan hidup manusia.

2.6    ASPEK AKSIOLOGI PADA PENDIDIKAN MATEMATIKA
Aspek aksiologi merupakan aspek yang membahas tentang untuk apa ilmu itu digunakan khususnya dalam pendidikan matematika dan nilai apa yang dapat diperoleh bagi kehidupan seseorang jika belajar tentang pendidikan matematika. Pada dasarnya pendidikan matematika harus digunakan untuk kepentingan semua orang karena hal itu akan memberikan manfaat baik siswa maupun guru. Banyak hal yang dapat dipetik dari mempelajari filsafat salah satunya dengan mengadakan refleksi terhadap pembelajaran karena dengan melakukan refleksi maka seseorang telah menggunakan tingkat berpikir yang cukup tinggi.

BAB III
KESIMPULAN

Di dalam pengembangan pengetahuan terdapat tiga landasan ilmu yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Pertama, landasan ontologi yakni membahas objek yang ditelaah ilmu. Ini berarti ilmu harus mempunyai objek penelaah yang jelas. Kedua, landasan epistemologi adalah cara yang digunakan untuk mengkaji atau menelaah sehingga diperolehnya ilmu tersebut. Metode ilmiah pada dasarnya untuk semua disiplin ilmu yaitu berupa proses kegiatan induksi-deduksi-verifikasi. Ketiga, landasan aksiologi yang berhubungan dengan penggunaan ilmu tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia. Dengan kata lain, apa yang dapat disumbangkan ilmu terhadap peningkatan kualitas hidup manusia.
Ontologi ilmu membatasi diri pada ruang kajian keilmuan yang bisa dipikirkan manusia secara rasional dan yang bisa diamati melalui panca indera manusia. Wilayah ontologi ilmu terbatas pada jangkauan pengetahuan ilmiah manusia.
Epistemologi senantiasa mendorong manusia untuk selalu berfikir dan berkreasi menemukan dan menciptakan sesuatu yang baru. Pada awalnya seseorang yang berusaha menciptakan sesuatu yang baru, mungki saja mengalami kegagalan tetapi kegagalan itu dimanfaatkan sebagai bagian dari proses menuju keberhasilan. Sebab dibalik kegagalan itu ditemukan rahasia pengetahuan, berupa faktor-faktor penyebabnya.
Filsafat Pendidikan matematika bermula dari pertanyaan dan berakhir pada pertanyaan. Hakikat filsafat pendidikan matematika adalah bertanya terus-menerus, karenanya dikatakan bahwa filsafat adalah sikap bertanya itu sendiri. Dengan bertanya, filsafat mencari kebenaran. Namun, filsafat tidak menerima kebenaran apapun sebagai sesuatu yang sudah selesai. Yang muncul adalah sikap kritis, meragukan terus kebenaran yang ditemukan. Dengan bertanya, orang menghadapi realitas kehidupan sebagai suatu masalah, sebagai sebuah pertanyaan, tugas untuk digeluti, dicari tahu jawabannya.
DAFTAR PUSTAKA

Husnan Sulaiman dan Munasir. Landasan Ontologi, Epistemologi Dan Aksiologi Dalam Filsafat Ilmu.http://suksespend.blogspot.com/2009/06/makalah-landasan-ontologi epistemologi.html.
Jujun S Suriasumantri. (2009). Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Muhammad Adib. (2011). Filsafat Ilmu; Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir. (2012). Filsafat  Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sri Soeprapto. (1997). Landasan Ontologi Ilmu. Makalah Internship. Yogyakarta: Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada
Surajiyo. (2010). Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. (2003). Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty